
Dulu waktu
saya kecil, hubungan saya dengan Ayah saya cukup dekat. Ayah menyuruh saya untuk jadi dokter. Untuk membuat saya menyenangi dunia kedokteran, saya dijejali dengan setumpuk buku kedokteran koleksinya. Tidak ada yang membuat saya tertarik kecuali buku tentang anatomi tubuh hihihi… Saking dekatnya dengan beliau, mimpi basah pertama di masa akhil baliqpun saya cerita ke dia. Ayah cuma tersenyum diapun bercerita soal proses pertumbuhan alat kelamin anak laki-laki yang sudah tumbuh menjadi dewasa. Sayapun disuruh membaca buku tentang Anatomi tubuh biar saya lebih memahaminya. Dengan perlahan-lahan saya bilang ke Ayah, kalo saya tidak menyukai dunia kedokteran. Saya katakan bahwa saya tidak cukup pintar untuk menjadi seorang dokter. Dimata Danny kecil kala itu Dokter adalah Orang Terpintar di dunia dan saya tidak cukup masuk kualifikasinya. Akhirnya Ayah saya faham kalo saya lebih menyukai jadi pedagang mengikuti naluri dibanding jadi ‘Dewa’ bagi banyak orang. Sekarang almarhum Ayah mungkin bangga melihat saya dan adik saya jadi seorang pengusaha. Adik saya lebih hebat lagi sekarang menjadi ‘orang sunda’ pertama di Malang menjadi pengusaha rokok yang sukses. I’m proud of him !
Dalam perkembangannya saya menemukan kenyataan bahwa memang pro
fesi dokter itu ibarat 'Dewa', setidaknya dokter-dokter itu menganggap begitu. Coba tengok begitu maraknya pemberitaan malpraktek dimana-mana tapi apa pernah terdengar seorang dokter dipenjara akibat kecerobohannya ? Belom kedengaran tuh. Sekarang Googeling aja dan search “malpraktek” banyak banget berita soal malpraktek mulai diungkap terutama yang berhubungan dengan RS Omni Internasional. Kasus Jarod dan Jaden bayi kembar anak Juliana dan Kiki Darmadi yang mengalami malpraktek di RS Omni Internasional juga hangat dibicarakan. Cerita diawali dengan kelahiran si kembar tanggal 29 Mei 2009 namun karena lahir prematur si kembar harus masuk inkubator. Over oxygen supply adalah penyebab kerusakan mata si kembar dan Jarod dan Jaden terancam buta permanen. Kiki dan Juliana Darmadi akan menyeret ‘si sombong’ RS Omni Internasional ke pengadilan akibat kelalaian tersebut.
Kasus ibu Prita ini dapat menjadi refleksi bagi kita semua, sejauh mana sebenarnya perlindungan hukum bagi pasien telah ditegakkan. Selama ini, kasus-kasus malpraktek kedokteran hanya berhenti pada dewan etik kedokteran. Hal ini mengesankan bahwa baik dokter maupun pihak rumah sakit terkesan jauh dari jangkauan hukum. Mereka selalu berkilah bahwa mereka telah melaksanakan tugas dan profesinya sesuai dengan "standar profesi" yang diatur didalam Pasal 21 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Dengan alasan "standar profesi" itulah, maka menurut Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 dokter yang melakukan dugaan malpraktek tersebut terlindungi oleh hukum yang berlaku. Sementara bagaimana dengan hak pasien itu sendiri? Kasus ibu Prita adalah sekian dari ribuan kasus dugaan malpraktek medis/kedokteran. Hanya saja, ibu prita termasuk "pasien yang cerdas", yang tahu bagaimana caranya untuk menyampaikan keluhannya mengingat bila selama ini kasus-kasus dugaan malpraktek kedokteran ataupun kasus malpraktek medis hanya berhenti sampai di dewan etik kedokteran saja. Selama ini jarang sekali ada dokter maupun rumah sakit yang dapat diminta"pertanggung jawabannya" baik secara perdata maupun pidana atas kelalaian atau kesalahan diagnosis yang menyebabkan terjadinya "malpraktek kedokteran". Walaupun sudah ada undang-undang baru No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran, tetap saja proses penegakan hukum atas kasus malpraktek kedokteran,terkesan jauh diatas awan. RUU Rumah Sakit pun yang sudah ada di DPR saat ini terkesan menjadi urutan nomor sekian untuk dibahas. Seakan-akan Rumah sakit bukanlah hal yang bersifat urgensi untuk menjadi topik pembahasan dalam rapat paripurna DPR padahal sudah cukup banyak korban yang muncul diakibatkan kelalaian atau kesalahan diagnosis pihak rumah sakit.
Masuk akal sih kenapa para dokter menganggap dirinya ‘Dewa’ selain kuliahnya lama dan melelahkan ditambah profesi dokter adalah profesi terpandang dimata masyakarat. Belom lagi asumsi bahwa dokter bisa menentukan hidup mati seseorang yang menyebabkan dirinya sebagai tangan ‘Tuhan’ (semoga statemen tidak menjadi polemik) dan Rumah Sakit sebagai tempat mereka bernaung sungguh sangat profesi dokter, itu sebabnya Rumah Sakit sebagai ‘Rumah’ para Dewa.

Dalam perkembangannya saya menemukan kenyataan bahwa memang pro

Kasus ibu Prita ini dapat menjadi refleksi bagi kita semua, sejauh mana sebenarnya perlindungan hukum bagi pasien telah ditegakkan. Selama ini, kasus-kasus malpraktek kedokteran hanya berhenti pada dewan etik kedokteran. Hal ini mengesankan bahwa baik dokter maupun pihak rumah sakit terkesan jauh dari jangkauan hukum. Mereka selalu berkilah bahwa mereka telah melaksanakan tugas dan profesinya sesuai dengan "standar profesi" yang diatur didalam Pasal 21 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Dengan alasan "standar profesi" itulah, maka menurut Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 dokter yang melakukan dugaan malpraktek tersebut terlindungi oleh hukum yang berlaku. Sementara bagaimana dengan hak pasien itu sendiri? Kasus ibu Prita adalah sekian dari ribuan kasus dugaan malpraktek medis/kedokteran. Hanya saja, ibu prita termasuk "pasien yang cerdas", yang tahu bagaimana caranya untuk menyampaikan keluhannya mengingat bila selama ini kasus-kasus dugaan malpraktek kedokteran ataupun kasus malpraktek medis hanya berhenti sampai di dewan etik kedokteran saja. Selama ini jarang sekali ada dokter maupun rumah sakit yang dapat diminta"pertanggung jawabannya" baik secara perdata maupun pidana atas kelalaian atau kesalahan diagnosis yang menyebabkan terjadinya "malpraktek kedokteran". Walaupun sudah ada undang-undang baru No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran, tetap saja proses penegakan hukum atas kasus malpraktek kedokteran,terkesan jauh diatas awan. RUU Rumah Sakit pun yang sudah ada di DPR saat ini terkesan menjadi urutan nomor sekian untuk dibahas. Seakan-akan Rumah sakit bukanlah hal yang bersifat urgensi untuk menjadi topik pembahasan dalam rapat paripurna DPR padahal sudah cukup banyak korban yang muncul diakibatkan kelalaian atau kesalahan diagnosis pihak rumah sakit.
Masuk akal sih kenapa para dokter menganggap dirinya ‘Dewa’ selain kuliahnya lama dan melelahkan ditambah profesi dokter adalah profesi terpandang dimata masyakarat. Belom lagi asumsi bahwa dokter bisa menentukan hidup mati seseorang yang menyebabkan dirinya sebagai tangan ‘Tuhan’ (semoga statemen tidak menjadi polemik) dan Rumah Sakit sebagai tempat mereka bernaung sungguh sangat profesi dokter, itu sebabnya Rumah Sakit sebagai ‘Rumah’ para Dewa.


Pertanyaannya apakah para dokter kita mampu bersikap seperti dr Hunter ‘Patch’ Adam ataukah masih dengan arogan menganggap dirinya ‘Dewa’ dan Rumah Sakit tempat mereka praktek adalah 'Rumah-Nya' ?
0 comments:
Posting Komentar