Namanya Ibu Siam umurnya 50 tahunan, buta huruf dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Pakcik Sahrul di wilayah Shah Alam, Kuala Lumpur selama 2 tahun terakhir ini. Saya menemukannya ketika duduk sebelah saya di pesawat Air Asia KL-Jakarta tanggal 5 Juli lalu. Sepanjang perjalanan dia banyak ngomong, bahan obrolannya tak habis-habisnya. Belakangan saya tahu bahwa Ibu Siam yang tertera di pasportnya bernama Juliati kelahiran tahun 1970 ini pengen saya menolongnya menulis di kartus kedatangan imigrasi yang wajb diserahkan di pos imigrasi di Bandara. Dengan sabar saya mengajak dia ngobrol dan membantu dia menulis di kartu tersebut. Ini bukan pertama kalinya saya membantu para TKW di bandara baik di bandara kita maupun di Kuala Lumpur International Airport.
Dari obrolan sepanjang 2 jam 15 menit tercetus omongan seperti ini :
“Pokoknya Abang bantuin saya, saya akan pergi kemana Abang pergi “. Saya terenyuh pastinya saya akan memastikan dia sampai pulang ketemu keluarganya yang menunggunya di Kampung Rambutan. Saya kagum juga meliat wanita separuh baya ini membawa sekitar 7 buah bawaan dari mulai kardus, tas kecil-kecil, kantong keresek dan boneka. Semua dia bawa buat anak cucunya setelah 2 tahun kontrak kerja di Malaysia.
Dari obrolannya saya baru tau kalo Ibu Siam berasal dari sebuah daerah transmigrasi di Lampung Selatan. Kehidupannya yang keras yang akhirnya mengantar wanita tua dan buta huruf menjadi TKW di Kuala Lumpur. Karena buta huruf juga yang menyebabkan dirinya pergi ke KL berbekal passport bernama Juliati kelahiran tahun 1970. Saking nggak taunya bahwa PJTKI memanipulasi datanya. Orang-orang seumuran Ibu Siam justru sangat laku di negeri Jiran karena umumnya wanita tua seusianya laku buat penjaga anak-anak dan dikenal lebih sabar dan penyayang dibanding wanita muda belia.
Sesampai di Bandara waktu itu jam menunjukan jam 18.05, diharuskan membuat surat pernyataan bebas dari flue N1H1. Dasarlah Indonesia, kita hanya disuruh ngisi form saja tanpa ada pemeriksaan seperti yang saya temukan di Bandara Changi, KLIA maupun Suvarnabhumi Aiport. Lagi-lagi Ibu Siam minta bantuan saya untuk mengisi form sehat tadi. Bebas ! akhirnya kami terbebas setelah mengantri di loket Imigrasi yang cukup panjang (maklum lagi musim liburan).
Ketika kami mengantri di tempat bagasi hingga barang terakhir tapi barang Ibu Siam berupa 2 koper tidak juga kunjung datang, kemana gerangan ? Saya mengantar Ibu Siam ke loket bagian klaim bagasi Air Asia. Sayapun mengadukan keluhannya Ibu Siam dan meninggalkan data serta nomor telepon beliau. Persoalan belumlah selesai, pertanyaan bagaimana cara keluar dari Bandara tanpa ketahuan petugas BNP2TKI dan petugas Kepulangan TKI yang biasanya ‘memeras’ para TKI itu pulang ? Saya akhirnya berpura-pura menggandeng Ibu Siam seolah-olah beliau adalah Ibu saya dan saya melarang Ibu siang bercakap-cakap karena bakal kentara banget dia adalah TKW. Akhirnya saya keluar dari Bandara tanpa ketahuan petugas tadi dan saya akhirnya mengantarkan Ibu Siam hingga Kampung Rambutan dimana keluarganya menunggunya untuk langsung pergi ke Lampung.
Ibu Siam adalah potret para TKI kita yang saat ini ada dihadapan kita. Anehnya kita bisa berkutik melihat begitu banyak masalah dengan para TKI terutama TKW yang pulang dengan banyak masalah dari mulai diperkosa, disiram air panas, dibunuh hingga bunuh diri. Dimana tanggung jawab Pemerintah dan PJKTI ? Apakah hanya menunggu para TKW pulang tanpa nyawa ? Sungguh beruntung Ibu Siam masih memiliki majikan seperti Pakcik Sahrul yang terus menerus menghubungi Ibu hanya ingin memastikan Ibu Siam sampai ke rumah dengan selamat.
Ibu Siam, adalah potret sederhana daru wajah TKW kita saat ini ….